Mereka Juga Tahu
Ilustrasi |
Aku ragu
untuk datang sekolah. Suasananya pasti akan berubah drastis. Tidak seperti
kemarin-kemarin. Pandangan teman-teman sekelas atau mungkin satu sekolah akan
lain terhadapku. Mereka sudah tahu siapa aku sebenarnya.
Aku sendiri sempat shock membaca koran pagi ini. Headline koran
itu jelas menohok kami sekeluarga. Membuka aib yang sudah lama membusuk. Aku
jadi mual membacanya. Malah tidak hanya satu koran yang saja yang mengulas itu,
tapi semua koran yang terbit bersamaan dengannya.
Semua adalah bermula dari kejadian kemarin malam. Aku sudah merasa ada yang
tidak beres di rumah. Papa tak terlihat ceria. Juga Mama. Keduanya seperti
menyimpan segudang beban berat di pikirannya. Aku tak berani bertanya. Wajah
mereka seperti tak memberi izin untuk siapapun mengajukan pertanyaan.
Maka aku hanya diam. Tak berani membuka suara. Pun di meja makan saat makan
malam. Kami hanya diam dengan pikiran masing-masing. Tak seperti biasanya yang
selalu saja ada remeh-temeh. Aku seperti di tempat asing. Aku muak. Aku ingin
sekali bicara!
“Ada apa sih, Ma?” bisikku saat ikut merapikan meja makan. “Kenapa
Poppy tak mendengar adanya percakapan
malam ini?”
Mama diam sambil menumpuk piring-piring bekas kami makan.
“Apa ada masalah antara Papa dan Mama?”
Mama menatapku. Dia mencoba tersenyum meski jadinya hambar.
“Apa Poppy tak berhak tahu?”
Mama beranjak menuju dapur. Aku mengikutinya.
“Ma, kok tidak dijawab sih?” kejarku.
Mama kembali menatapku kali ini lebih lembut.
“Poppy, Mama tidak menjawab sebab memang tak ada yang mesti dijawab.”
“Tetapi, kenapa Papa dan Mama jadi diam-diaman seperti itu?”
“Mama melakukannya karena tak ingin mengganggu ketenangan Papa.”
“Memangnya ada apa dengan Papa?”
“Ada sedikit persoalan di kantornya, Papamu perlu suasana tenang agar dapat
membantunya berpikir jernih.”
“Kenapa persoalan kantor sampai dibawa ke rumah?” tanyaku. “Apakah masalah
itu menyangkut karirnya di kantor?”
“Bisa jadi begitu,” ucap Mama, “makanya kita bantu doa saja agar Papa dapat
menyelesaikan masalahnya.”
Aku jadi mengerti mengapa muka Papa begitu kusut, seperti benang layangan
yang diacak-acak anak kecil. Seperti kata Mama, aku tak banyak mengeluarkan
suara agar keadaan di rumah tenang. Radio tape yang sedianya menggemakan suara
machonya Bruce Dickinson terpaksa nganggur. Meski aku tahu, Papa juga suka
banget sama vokalisnya Iron Maiden itu—sebab aku memang mendapatkan kasetnya
dari beliau—tapi aku tahu diri. Papa butuh ketenangan.
Baru pertama kali ini aku melihat Papa begitu berbeda. Biasanya Papa selalu
senang mengumbar kata-kata alias cerewet. Apalagi kalau beliau pulang selepas
Maghrib tidak melihatku di rumah. Pasti seribu pertanyaannya akan meyergapku.
“Apa kamu tidak lagi dapat membaca jam di pergelangan tanganmu?” begitu
satu ketika dia menegurku saat pulang terlambat.
“Tentu saja bisa.”
“Lalu kenapa kamu membiarkan tugas yang sudah diembannya?”
“Maksud Papa?”
“Jam itu membawa tugas untuk memberitahukan kamu kapan saatnya pulang ke
rumah, tapi malah kamu memasabodohkannya. Apakah itu berarti kamu sudah tak
membutuhkannya?”
“Maafin Poppy deh, Pa,” kataku mencoba mengakhiri celotehan Papa.
“Tidak ada penjelasan?” tanya Papa.
“Ini terpaksa, Pa,” jawabku, “teman Poppy jatuh dari bus saat mau turun,
wajahnya luka dan mesti ke rumah sakit.”
“Lalu kamu ikut juga ke sana?”
“Dia teman sebangku Poppy, Pa, jadi wajar dong kalau Poppy ikut? Sekalian
bantuin dia mengurus administrasinya sampai keluarganya datang.”
“Kamu tidak kesulitan mengurus semua itu?”
“Semua rumah sakit nggak ada bedanya, kita nggak dilayani kalau tanpa
uang.”
“Jadi?”
“Poppy pakai jalan pintas.”
“Bagaimana?”
“Poppy pakai kartu nama Papa untuk jaminan,” ucapku sambil senyum.
“Berarti kamu mencatut nama Papa?”
“Demi kebaikan sesama tak apa-apa toh? Lagipula Poppy yakin Papa mau
membantu, kan?”
“Sudahlah. Tapi ingat jangan keseringan kamu berbuat seperti itu.”
Aku hanya tertawa. Aku tahu Papa teramat sayang padaku. Tegurannya adalah
bentuk perhatian. Maka aku pun tak pernah sebal padanya. Sebab Papa sangat
pemurah. Terutama bila menyangkut uang jajanku.
Tak heran kalau setiap hari aku dapat mentraktir teman-teman jajan di
kantin. Karena uang sakuku berlebih dan tak pernah kurang. Senang rasanya bisa
berbagi rezeki dengan orang lain.
Mungkin ini yang namanya memanfaatkan keberuntungan. Tak semua anak
terlahir sebagai anak pejabat. Jadi , ya nikmati saja. Seperti yang sudah
dilakukan teman-temanku.
Aku juga tahu, Papa akan percaya bahwa aku tak akan berbuat sesuatu di luar
batas kewajaran. Teguran yang kadang terlontar dari mulutnya bukanlah untuk
memagari langkahku, melainkan untuk mengingatkan saja.
Aku sudah mengerti itu. Seperti juga saat ini dimana aku harus mengerti
untuk menghargai ketenangan yang dibutuhkan Papa di rumah.
Aku yakin, masalah yang dihadapinya kali ini benar-benar amat berat. Karena
bila tidak, efek dari masalah itu tak bakal sampai ke rumah ini. Sebab aku
pernah ingat dengan perkataan Papa.
“Bila Papa tiba di rumah, segala urusan kantor akan tetap tertinggal di
sana. Sebab rumah adalah tempat untuk beristirahat dan bercengkrama dengan
keluarga tanpa dicemari oleh segala tetek bengek yang terjadi di kantor.”
Maka begitu Mama menyuruhku untuk menjaga sikap agar tidak mengganggu
pikiran Papa, aku jadi heran. Namun, aku tak mau lebih banyak bertanya lagi.
Seperti kata Mama, aku pun hanya bisa berdoa agar Papa dapat menyelesaikan
masalahnya.
Selepas makan malam, aku langsung masuk kamar. Dan aku ketahui selanjutnya,
Papa dan Mama juga segera masuk ke kamar. Lampu di ruang depan sudah gelap
lebih cepat dari biasanya. Mungkin Papa memang butuh istirahat.
Aku pun beranjak tidur.
Tetapi, mendadak aku terkejut. Tiba-tiba aku mendengar bel depan berbunyi.
Berkali-kali. Siapa orang yang bertamu malam-malam begini?
Aku bergegas keluar kamar, dan membuka pintu depan. Wajah satpam penjaga
rumah muncul dengan tatap mata ketakutan.
“Ada apa sih?” tanyaku.
“Anu, Non, bapak-bapak ini mau ketemu Tuan,” jawab satpam itu menunjuk dua
orang di belakangnya.
“Hmm, kalau boleh tahu ada perlu apa ya, Pak?” tanyaku pada keduanya.
“Maaf, kami dari kepolisian ingin bertemu Tuan Sugih.”
Aku tercekat. Buru-buru aku menuju kamar Papa. Papa keluar dengan tenang.
Sepertinya dia sudah siap menghadapi semua itu. Kedua polisi tadi memberikan
surat panggilan untuk pemeriksaan. Setelah itu mereka pamit.
Esoknya Papa memenuhi panggilan tersebut. Kami di rumah menunggu tak sabar.
Aku sampai tak berangkat sekolah. Aku ingin tahu bagaimana keadaan Papa
selanjutnya.
Akhirnya kami dapat kabar, Papa tak bisa pulang. Dia langsung menerima
kenyataan terlibat penyalahgunakan uang negara. Penyelidikan yang dilakukan
timtas tipikor, tim pemberantas tindak pidana korupsi, menjadikannya sebagai
salah satu tersangka. Sanksi hukum siap menjeratnya.
Mama langsung pingsan mendengar itu. Aku berusaha kuat menerima kenyataan.
Para pembantu menolong Mama sampai dia siuman. Sorenya kami ke kantor polisi
untuk membawa keperluan Papa selama menjalani masa tahanan.
Dunia serasa runtuh buatku. Apalagi berbagai media massa memberitakan hal
ini dalam berita utamanya. Aku malu. Rasanya tak ingin aku bertemu dengan orang
lain.
Makanya, aku sangat malas datang ke sekolah pagi ini. Aku tahu seisi
sekolah pasti juga sudah mendengar kabar tentang Papa. Aku akan menjadi makhluk
paling menjijikkan buat mereka. Kalau saja Mama tak memaksaku untuk berangkat
ke sekolah, mungkin aku takkan masuk lagi.
Begitu melangkah masuk ke ruang kelas, aku tak berani menatap anak-anak
lain. Aku lebih memilih menunduk saja. Sampai kakiku tiba di tempat duduk.
“Hai, Pop, kemana aja?” suara renyah Windi menyapa.
Aku mencoba tersenyum.
“Kok kemarin tidak masuk? Sayang lho, padahal kemarin kita abis rujakan di
tempat Santi.”
Aku menatapnya, tak terlihat ada kepura-puraan di wajahnya. Mungkin dia tak
tahu berita tentang Papa.
“Iya, ini Poppy, kamu kok pakai tidak masuk segala sih,” timpal Uwi kenes.
“Aku jadi kewalahan menghadapi ulangan Fisika kemarin.”
Aku tatap juga Uwi. Wajahnya biasa saja. Sama dengan Windi. Sama juga
dengan anak-anak lain. Mereka tak memandang lain padaku. Apa mereka memang tak
mengetahui apa yang sudah terjadi pada keluargaku?
Uwi tersenyum. “Bagaimana kalau hari ini kita rujakan lagi, tapi di
rumahmu?”
Aku tersedak.
“Kenapa? Kamu tak mau?” tanya Windi.
“Bu-bukan, bukan begitu. Tapi apa yakin kalian mau ke rumahku?”
“Lho, memangnya kenapa? Bukankah kita sudah sering ke rumahmu?” tukas Uwi.
“Terserah kalianlah.”
“Nah begitu dong, kita akan ajak semua anak ke rumahmu,” ucap Uwi.
Aku melongo.
“Kamu tidak keberatan, kan?” tanya Windi.
“Oh, tidak. Mana pernah aku keberatan, iya kan?” kataku selepas mungkin.
Mereka bersorak senang dan meninggalkanku. Saya juga beranjak menuju kantin
untuk mengisi perut. Tapi karena kebelet pipis, saya mampir dulu ke toilet. Tak
ada orang di sana. Cuma aku sendiri.
Aku masuk ke satu sekat dari lima sekat di dalam toilet itu. Aku tutup pintunya.
Kemudian, aku mendengar pintu toilet terbuka lagi. Aku kira ada anak lain yang
masuk. Dan dia masuk ke sekat di sebelahku.
“Cepat, Wi, perutku sudah keroncongan nih.”
Aku kenal suara itu. Itu Windi. Jadi, anak yang masuk ke sekat di sebelah
adalah Uwi. Aku tak keluar lebih dulu. Aku dengar pintu sekat di sebelah
kembali dibuka.
“Sabar, Nona manis, aku juga tahu kamu hanya ingin menemani Poppy, kan? Aku
juga lihat dia tadi menuju kantin.”
Kamu salah Uwi, Aku ada di sini.
“Iya, juga sih,” kata Windi. “Soalnya aku kasihan juga sama dia. Pasti
berat menerima kenyataan kalau Papanya ditahan polisi.”
“Mudah-mudahan saja dia tetap mengira kita tak mengetahui kejadian itu,
sehingga sikapnya jadi tak berubah,” sahut Uwi.
“Semoga saja, bagaimanapun dia adalah sahabat kita dan sudah sering
membantu teman yang kesusahan,” ucap Windi.
“Kalau begitu, ayo ke kantin, jangan biarkan dia sendiri di sana,” ajak
Uwi.
Dan suara mereka pun menghilang. Ruang itu kembali sepi ketika aku keluar.
Tak terasa mataku menjadi basah.
*****
Komentar
Posting Komentar