Mata Pak Kuntoro Basah
Ilustrasi |
Pagi itu Pak Kuntoro bicara pada
murid-muridnya. “Hari ini mungkin akan
agak lain dengan hari-hari kemarin. Saya tidak akan memberikan pelajaran
matematika seperti biasanya. Pasti kalian bertanya-tanya, ada apa? Saya akan
jawab, tidak ada apa-apa.
Saya hanya ingin mengendurkan
sejenak syaraf otak kalian dari segala hitung-menghitung. Tapi, saya minta kalian jangan dulu menduga ini
adalah lantaran saya tengah mogok ngajar.
“Bukan begitu. Sebab sejak mengajar
matematika ini dua puluh tahun lalu, tak pernah terlintas dalam pikiran saya
untuk mogok mengajar. Saya malah tak ingin bila pekerjaan saya, sebagai guru,
terhambat oleh segala hal yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan. Saya
mengajar kalian bukan sekedar untuk mencari makan.
“Namun, semata sebagai sumbangsih
saya kepada masyarakat. Pada kalian semua. Saya selalu senang kalau bisa
memberikan suatu ilmu yang saya kuasai pada orang lain. Lagi pula, mengajarkan
ilmu bila bermanfaat akan terhitung sebagai ibadah. Iya toh? Jadi, mana mungkin
saya melewati keberkahan itu dengan mogok mengajar. Saya tak ingin rugi dan tak
ingin memberi kerugian pada kalian.”
Pak Kuntoro memandang ke murid-muridnya yang bengong
memandanginya. Dia kembali menguatkan suaranya.
“Sekarang ini, saya cuma ingin
memberikan beberapa patah kata untuk kalian ingat, resapi, atau mungkin
sekiranya dianggap baik boleh juga kalian ikuti. Maka untuk sementara,
bebaskanlah dulu kepala kalian dari angka-angka. Kini mari kita bicarakan hal
yang lebih mendasar. Yakni tentang kalian sebagai murid dan saya sebagai guru.”
Pak
Kuntoro terbatuk. Dia melihat lagi pada seisi ruangan itu. Tak ada yang bicara.
Semua melihat pada lelaki tua yang berdiri di depan kelas itu.
“Mungkin kalian sudah sering
mendengar mengenai hal ini. Tetapi tak mengapa, toh keinginan
saya memang sekedar
untuk mengingatkan. Mengingatkan
kembali pada kalian yang mungkin sudah lupa akan fungsi dari sekolah ini.
Seperti kita ketahui, sekolah itu adalah tempat berlangsungnya kegiatan
belajar-mengajar.
“Tetapi, apakah cukup sampai di
situ? Tidak. Sekolah juga adalah tempat pembentukan manusia masa depan. Itu
yang utama. Kenapa saya tahu-tahu kok membicarakan hal ini? Tentu kalian bertanya begitu. Alasannya,
karena kalianlah calon-calon manusia masa depan itu. Generasi-generasi baru
yang akan menggantikan generasi tua, yang sudah lapuk, karatan, pikun, seperti
saya ini.
“Kalianlah yang kelak akan memimpin
negeri ini. Yang akan membawa pada kemajuan ataukah kehancuran. Semua terletak
di tangan kalian. Lewat sekolah inilah kalian dibekali agar nanti siap menerima
tongkat estafet kepemimpinan itu. Saya di sini adalah sebagai alat penunjang,
instrumen, yang mendukung proses tersebut.
“Saya hanya mengajarkan semampu
saya. Selebihnya, kalianlah yang akan memilih dan mengembangkan. Saya tahu
tidak seluruh yang saya berikan itu akan kalian gunakan kelak. Saya mengerti,
lepas dari sekolah ini, kalian akan terpencar sesuai dengan dorongan hati,
nasib, dan atas kehendak pihak lain, untuk memasuki jenjang pendidikan yang
lebih tinggi atau langsung terjun pada dunia kerja.
“Semua terserah kalian. Sebaiknya
kalianlah yang memutuskan, karena kalian pula yang akan menjalani dan merasakan
hasilnya. Bila punya rezeki, tak ada salahnya meneruskan belajar ke perguruan
tinggi, sebab itu akan mengembangkan pola pikir kalian sebagai bekal membangun
negeri ini. Kalau memang mesti bekerja, ya bekerjalah dengan baik, tapi jangan
pernah lupa untuk tetap terus belajar, karena banyak ilmu yang berserakan di
tengah kehidupan kita ini, dan kita mesti pintar-pintar menjemputnya.
“Kalian memang harus pandai-pandai memilih. Biar
tidak nyasar lantaran salah langkah. Kalian mesti bisa menentukan sikap. Jangan
asal manut. Kalianlah yang akan membawa pembaharuan dengan mengikis habis
nilai-nilai yang telah usang. Saya beserta guru-guru lain cuma sebagai
pengarah, pembimbing. Kalianlah yang kelak menjadi tiang-tiang bangsa, pengukuh
berdirinya negara ini.
“Hingga kini, saya kira, masih ada
di antara kalian yang tidak mengerti, setidaknya belum menyadari bahwa dengan
bersekolah, sebenarnya kalian sedang mempersiapkan diri untuk satu tugas besar.
Jadi, bukan melulu untuk hura-hura, pamer, atau sekedar mencari teman, apalagi
cuma mengejar ijazah. Tanpa sekolah pun kalian dapat memperoleh semua itu.
Sekolah merupakan tempat proses pembentukan pribadi. Bekal ilmu yang kalian
dapat di sini tak semuanya sesuai dengan keinginan masing-masing pribadi. Jadi,
kalian harus dapat memilahnya, bila perlu dikembangkan sejalan dengan kebutuhan
kalian kelak.
“Kalian memang harus aktif, kreatif,
dan dinamis. Tetapi, kalau bisa, itu dilakukan pada jalur positif. Jalur yang
benar. Namun, dengan begitu bukan berarti kalian tidak boleh berbuat salah.
Orang benar bukan berarti bebas dari perbuatan salah. Tidak selamanya tanaman
baik akan selalu berbuah baik. Kadang ada juga yang busuk. Itu wajar.
“Yang penting kalian bisa lekas
memperbaiki dan kembali pada tujuan hidup semula. Jangan sampai kalian stres
gara-gara telah berbuat salah. Kalian harus bisa mengambil hikmah dari
kesalahan itu. Kesalahan membuat kita mawas diri. Ingatlah, semua orang pernah
berbuat salah. Saya pun pernah. Juga bapakmu. Bahkan nabi sekalipun tak lepas
dari kesalahan walau kadarnya berbeda.
“Jadi pada intinya, kalian harus
percaya pada kemampuan pribadi. Ini penting. Dengan kepercayaan diri, kalian
akan tetap berdiri tegak meski harus berdampingan dengan bangsa lain. Tak bisa
dipungkiri, gaung globalisasi telah melebar ke negeri ini. Era keterbukaan.
Pasar bebas.
“Ini harus kalian cermati. Kalian
harus ikut ambil bagian. Jangan cuma diam. Menunggu. Nanti malah gelagapan
jadinya. Kalian harus meningkatkan kualitas diri. Agar kalian bisa tetap eksis
dalam persaingan yang pastinya semakin ketat. Apalagi setelah diramaikan oleh
kehadiran orang asing. Meski tidak harus menganggap mereka sebagai ancaman,
tetapi bila kita terus mengandalkan mereka bukan tak mungkin kita malah selalu
akan menjadi kuli di negeri sendiri. Padahal, susah payah sudah pendahulu kita
berupaya mengangkat negeri ini sejajar dengan negara-negara lain yang merdeka
bebas dari jerat penjajahan.”
Wajah Pak Kuntoro makin merah,
semangatnya membara. Dia terus merangsek pikiran para muridnya. Kata-katanya
kian mantap.
“Jadi, kalian mesti benar-benar
siap. Kalian harus bisa menunjukkan, sebagai produk dari bangsa yang besar, kalian mampu menjadi pemimpin di
segala aspek kehidupan di negeri ini. Tapi ingat, kebesaran bangsa kita di masa
lalu, jangan sampai membuat kita terlena, ada baiknya hal itu kita jadikan
cambuk untuk bangkit dan lebih produktif dalam pengembangan diri agar kebesaran
bangsa ini dapat kembali dirasakan.
“Memang berat kedengarannya, tapi
jangan kalian merasa terbebani. Karena apa yang kalian lakukan hasilnya akan
kembali kalian rasakan kelak. Kalian akan menikmati kehidupan berbangsa yang
bebas mandiri jauh dari tekanan dan campur tangan negara lain. Mempunyai sikap
yang jelas serta berkepribadian. Sehingga tidak lagi dilecehkan bangsa lain
bila kebetulan kalian singgah di negara tersebut.
“Untuk itulah pentingnya kalian
harus terus belajar, belajar, dan belajar. Membekali diri. Tempatnya di mana?
Ya, di sini tentunya. Di sekolah ini. Kalian mesti punya keyakinan tinggi bahwa
sekolah adalah tempat kalian menggembleng diri.
“Bukan hanya untuk ilmu pengetahuan
saja tapi juga sisi keagamaan. Karena agamalah yang akan membentuk akhlak
kalian menjadi lebih baik. Ini sudah pasti. Dengan pondasi agama yang baik,
kalian dapat membentengi diri dari pikiran-pikiran kotor yang biasa hinggap di
kepala para pemimpin. Karena kalianlah para calon pemimpin itu. Kalian yang
memegang tampuk kekuasaan negeri ini kelak, mesti menjalankannya sebagai suatu
amanah, hal yang bagi langit, bumi, dan alam semesta enggan memegangnya
lantaran begitu berat tanggung jawabnya.
“Jadi, jangan kalian berpaling dari
agama. Sebab, itulah yang membedakan bangsa kita dengan bangsa lain. Saya
sendiri berkeyakinan, bila agama selalu dijadikan landasan bagi para pemimpin
dalam menjalani roda pemerintahan, negeri ini akan selalu mendapatkan
keberkahan dari-Nya. Saya berharap, kalian tidak meremehkan hal itu.”
Terlihat bibir Pak Kuntoro
mengembangkan senyum. Perkataannya mulai melemah.
“Percayalah, apa yang kalian lakukan di sini,
bila memang benar jalannya, akan dapat berguna dalam kehidupan di masa datang.
Saat dimana kalian sudah menggantikan posisi kami, para orang tua. Baiklah,
saya rasa cukup sudah apa yang perlu saya katakan. Kalian tentunya juga telah
mengerti semua. Semoga semua hal ini ada manfaatnya. Dan ingat, janganlah
berputus asa untuk selalu terus belajar, belajar, dan belajar.
“Selamat belajar!”
***
Dua hari kemudian, ketika pulang
dari mengajar, di perempatan jalan, Pak Kuntoro menghentikan motornya sebab ada
kemacetan. Dia melihat sekelompok pelajar tengah mengerumuni sebuah bis yang
berhenti di tengah jalan. Di belakang bis, sudah mengantre deretan mobil dan
motor yang terpaksa ikut berhenti. Suara klakson sahut menyahut. Kelompok
pelajar itu berusaha mengeluarkan beberapa pelajar lain yang ada di dalam bis.
Penumpang wanita berteriak histeris,
yang laki-laki mengumpat sambil menyuruh sopir bis menjalankan mobilnya.
Tetapi, di depan bis ada empat pelajar yang menghalanginya dengan tangan
memegang batu. Pelajar yang di dalam bis--yang jelas kalah jumlah--berusaha
menyelamatkan diri di antara penumpang lain.
“Prang!” Tiba-tiba sebuah ikat pinggang
berkepala besi di tangan seorang pelajar di luar bis, menghancurkan sebuah kaca
samping mobil itu.
Pak Kuntoro terhenyak. Raungan
sirene mobil polisi segera saja menghamburkan kelompok pelajar itu. Dilihatnya,
para remaja berseragam putih abu-abu yang kocar-kacir itu tak lain adalah anak
didiknya. Di balik helm hitam yang rapat menutup kepalanya, mata Pak Kuntoro
basah.
*****
Nusaindah9
Komentar
Posting Komentar