Lelaki Tua di Bawah Jembatan
Ilustrasi |
Pertama kali kulihat, lelaki tua itu duduk di bawah tangga penyeberangan di belakang halte. Bersandar pada tiang penyanggahnya. Tubuhnya tampak ringkih duduk bersila beralas koran. Menunduk, hingga rambut panjangnya menjuntai menutupi wajah keriput yang dilebati jenggot. Lusuh seperti baju dan celana hitamnya yang pudar termakan hari.
Kupikir,
tadinya ia adalah orang gila atau pengemis yang biasa kutemui di tempat itu.
Tetapi, berkali-kali kuperhatikan, tak pernah ia menengadahkan tangan dan
memelas pada orang-orang yang lewat. Untuk dibilang gila juga tak begitu tepat,
sebab meski lusuh, gerak-geriknya boleh dibilang amat penuh kesadaran. Tak
pernah kulihat ia melahap makanan yang teronggok di bak sampah, layaknya orang
gila yang kadang kutemui. Pada saat tertentu malah aku melihatnya ikut
berjamaah salat di masjid yang tak jauh dari halte.
Dari situlah
kuyakin ia adalah seorang musafir atau urbanis yang terhanyut dalam impian
hingga terdampar di ibu kota ini. Bagaimana pun ibarat sebongkah kue, kota ini
selalu menggeliatkan liur setiap orang dari berbagai penjuru tempat. Timur.
Barat. Utara. Selatan. Semuanya berlomba merengkuh, menjilat, dan meresapi
manisnya metropolitan. Meski pada nyatanya kenikmatan hidup yang dinanti
berhembus seolah bayang air di padang pasir.
Kukira lelaki
itu adalah salah satu yang terhempas dalam persaingan. Kalau begitu berarti
sejalan dengan keadaan yang kualami. Bedanya, bisa jadi hanya soal waktu.
Mungkin lelaki itu baru kini merasakannya. Sedang aku? Sejak lahir gambaran
hari-hariku ke depan telah terbayang.
Ditemukan
pada subuh buta oleh Mak Kiyah, salah seorang pengurus panti asuhan. Teronggok
dalam kardus Indomie. Merah dan penuh darah. Awalnya, dikira telah putus
nafasku. Dalam pelukan Mak Kiyah-lah, aku meraung tanda kasihku pada-Nya yang
telah memberiku kesempatan untuk hidup.
Lewat
ketelatenan Mak Kiyah, aku tumbuh melewati masa kanak-kanak seperti anak lain.
Namun, banyaknya anak yang serupa nasib denganku di panti itu, membuatku tahu
diri. Jalanan adalah tempatku bernaung kemudian. Tempat di mana akal sehat
selalu kalah oleh perut. Jiwaku dibentuk oleh keadaan. Hidup tanpa ilmu,
menjadikan otot sebagai tumpuan. Kelicikan dan tipuan menjadi santapan. Hitam
dan putih menjadi tak berarti.
Sejak pagi
merayap, kutebar kepura-puraan. Menangis tersedu, memelas mohon belas kasihan
pada penumpang bus. Mengharap rezeki terkecil dari kantong. Kutahu mereka akan
selalu memberi, karena aku adalah anak-anak. Mereka pasti iba melihat aku merengek
karena lapar. Mereka tak pernah tega mendengar pengakuanku yang telah seharian
menahan kosong perut. Itulah senjata.
Lagipula,
seperti kubilang tadi, ketika halal dan haram sudah menjadi kabur batasannya,
orang makin akan sering membagi-bagikan uangnya pada pengemis. Setidaknya itu
sebagai upaya mereka mencuci rezeki dari yang tak jelas asalnya. Aku toh tak
pernah peduli akan hal itu, yang penting aku bisa memperoleh uang buat makan.
Kalau pun ada sisa, dapat kugunakan untuk pesta bersama anak lain. Nyimeng atau
nyeruput air api di bawah jembatan. Sambil menjangkau angan yang mengawang.
Tetapi, kini,
aku sudah tak lagi melewati hari dengan memelas meminta belas kasihan. Dengan
bermodal gitar bekas milik temanku yang mati ditusuk preman terminal, aku menjual
suara di bus kota. Walau tetap mengharap sekeping receh nilai terkecil,
setidaknya kali ini aku tak lagi perlu berpura-pura. Sebab kepura-puraan adalah
bentuk lain dari kemunafikan. Orang munafik tak lebih dari sosok yang tak punya
harga diri. Begitulah kata anak-anak jebolan pesantren yang kini ikut juga
mengamen. Rezeki itu sudah ditakar besar kecilnya. Aku mencoba bersandar pada
kenyataan itu.
Sekarang aku
mulai menikmati hasil dari jerih payahku. Meski sedikit, tapi tak lagi aku
kelaparan yang menyulut jiwa hewaniku. Melahap yang lemah. Sebab lapar membuat
mata gelap. Akal sehat tersumbat. Maka perih hatiku jika melihat orang yang
kelaparan. Untuk itu pula kudatangi lelaki tua yang ngedeprok di bawah
tangga jembatan penyeberangan dengan membawa sebungkus nasi.
“Assalamu’alaikum
….”
Kepala lelaki
itu terangkat. Tangannya menyibak gerai rambut yang menutupi wajahnya.
“Wa’alaikum
salam ….”
Dia
tersenyum. Aku tertegun. Wajah lelaki itu bersih seperti bercahaya, senyumnya
tulus. Segala debu yang menyelimuti pakaiannya seperti tak singgah di kulitnya.
Aku juga merasakan harum yang menyeruak dari tubuhnya, bukan harum dari sejenis
parfum.
“Ada apa,
anak muda?” tanyanya lembut.
Aku
tergeragap. Kucoba mengendalikan diri. Aku tersenyum menutupi grogi.
“I-ini ada
sebungkus nasi untuk Bapak, sekedar buat pengganjal perut.”
Ia tersenyum
lagi. Bibirnya selalu tampak bergerak seperti terus dan terus mengucap zikir.
“Alhamdulillah.
Terima kasih.”
Aku tersenyum
lagi, tak tahu mesti melakukan apa. Maka segera aku meninggalkannya. Sesekali
mataku melirik pada lelaki itu. Ada yang aneh di dirinya. Ia bukan orang biasa.
Ia bukan pengemis. Bukan orang gila. Juga bukan korban ibu kota. Aku yakin itu.
Aku jadi
penasaran. Maka hari-hari selanjutnya aku mulai memperhatikannya. Baru kini
kusadari bahwa lelaki itu tak pernah bergeser dari tempat duduknya, kecuali
bila masuk waktu salat. Selebihnya ia tetap duduk di sana meski malam telah
jatuh menyelimuti ibu kota. Tak sekali pun kulihat ia bergerak mencari makan.
Malah kebutuhannya itu seolah datang dengan sendirinya melalui orang-orang yang
lalu-lalang di sekitar tempat itu. Kadang ada seorang wanita yang
menghampirinya dengan sebungkus makanan, kadang juga yang mendatanginya itu
seorang laki-laki, baik di waktu pagi, siang, dan malam.
Melihat hal
itu aku menjadi teringat satu cerita yang dulu pernah dikisahkan oleh Mak Kiyah
sewaktu aku masih di panti. Ceritanya tentang seekor burung yang matanya buta.
Ia tak lagi dapat mencari sendiri makanannya. Tetapi ia masih tetap memperoleh
makan setiap harinya. Itu karena setiap pagi, siang, dan sore, selalu ada
secawan minuman dan makanan yang muncul begitu saja dari dalam tanah tepat
dimana burung itu hinggap. Kata Mak Kiyah, semua makanan dan minuman itu adalah
karunia Allah pada si burung. Jadi biarpun ia buta, ia dapat tetap memperoleh
makanan.
Jadi kupikir,
lelaki di bawah tangga jembatan penyeberangan itu juga sama nasibnya dengan si
burung yang buta. Kebutuhannya akan makan dan minum datang dengan sendirinya,
walau tidak muncul dari dalam tanah melainkan dari tangan orang-orang yang
lewat. Apakah ia begitu istimewa sehingga semua itu dapat terjadi. Terakhir
kali kulihat dari dekat, saat aku memberinya nasi tempo hari, bibirnya memang
tak pernah lepas dari zikir. Apakah itu sebabnya?
Bila memang
begitu, dia benar-benar bukan orang biasa. Tetapi, mengapa ia sampai berada di
tempat itu. Bukankah begitu banyak tempat lain yang lebih terhormat ketimbang
musti berada di bawah tangga penyeberangan yang kotor? Namun, bukankah khidir
juga sering bertukar rupa menjadi gelandangan?
Di antara
keyakinan dan ragu, aku berniat mendatangi lelaki itu. Selepas mengamen malam
telah larut. Dari hasil mengamen yang cukup lumayan, aku membeli seloyang
martabak untuk kumakan bersama si lelaki.
Mendadak,
kuhentikan langkahku di trotoar dekat halte. Kulihat ada hiruk-pikuk yang
terjadi. Trantib dari pemda sedang mengadakan razia terhadap para pengemis yang
keberadaannya memang sudah seperti jamur di musim hujan buat kota ini. Aku
terpaku. Si lelaki tua yang biasa duduk di bawah tangga jembatan penyeberangan
itu juga ikut diangkut ke atas truk. Dia tampak tak melawan. Aku tetap berdiri
mematung hingga semua itu berlalu dan suasana kembali hening. Tukang-tukang
rokok sudah menutup dagangannya.
Aku kembali
menatap bungkusan martabak yang tadi ingin kuberikan pada si lelaki tua.
Perlahan, kumelangkah menuju halte. Aku terkesiap. Mataku benar-benar menangkap
sosok itu. Sosok si lelaki itu. Dia masih di sana. Duduk bersila di bawah
tangga jembatan penyeberangan. Aku menoleh pada truk-truk trantib yang baru
saja melakukan razia, yang tadi kulihat membawa tubuh si lelaki itu.
Buru-buru aku
mendekatinya.
“Assalamu’alaikum
….”
“Wa’alaikum
salam ….”
Ia menatapku
lembut. Ah, kilatan matanya begitu sejuk. Tak mampu aku melawannya.
“Ada sesuatu
yang mengganggumu, anak muda?” tanyanya melihat keherananku.
“Maaf kalau
aku salah omong,” ucapku. “Tadi kulihat Bapak ikut terangkut oleh orang-orang
trantib itu, tapi kok ….”
Ia tersenyum.
“Jangan
terlalu mempercayai apa yang kau lihat.”
“Maksud, Bapak?”
“Ya, sesuatu
yang terlihat biasanya tak sama dengan kenyataan, selalu percayalah dengan kata
hati.” Sambil berucap begitu tangannya menyentuh tubuhku, ada rasa dingin yang
merambat dari telapak tangannya.
“Sebab hati
tak pernah berbohong,” bisiknya.
Aku jadi
malu. Karena sampai kini perbuatanku memang selalu bertentangan dengan kata
hati. Tapi, mau bagaimana lagi, kalau tidak begitu mana bisa aku dapat makan?
“Dan ingat
jangan mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatan kita yang salah.”
Aku jadi
takut, ia seperti dapat menembus pikiranku.
“Percayalah,
Dia Maha Pengampun, ambillah kesempatan sebelum Dia menutupnya.”
Jelas dia
menyindirku. Tapi, sepertinya aku tak dapat marah.
“Jangan
terlalu ngoyo mencari rezeki,” tambahnya. “Luangkanlah sedikit waktu untuk
menemui-Nya.”
“Maksud
Bapak, salat?”
Ia tersenyum.
“Ya, hanya
orang-orang beranilah yang mampu meninggalkannya.”
Aku tertegun.
Berusaha menguak artinya. Namun, tak juga dapat. Maka selepas melahap bersama
martabak yang kubawa. Aku pamit.
Selama
perjalanan hingga terlentang menyambut kantuk di petak kontrakan, aku kembali
mencerna kata-kata si lelaki. Berkali-kali kuingat kata-katanya itu, semakin
terbayang jejak hari-hariku yang lalu. Hatiku mulai menghardik segala
kelakuanku yang telah lewat. Aku terbangun. Bergegas kembali keluar, memburu ke
tempat lelaki tersebut. Subuh menjelang.
Di bawah
tangga jembatan penyeberangan, kakiku terhenti. Tak kulihat tubuh lelaki itu.
Hanya alas korannya yang tersisa. Masih tercium harum tubuh si lelaki di tempat
biasanya ia bersila. Aku terpaku. Hatiku membimbing langkah kakiku menuju
masjid, tempat di mana lelaki itu biasa salat.
Masjid itu
masih sepi, waktu subuh belum masuk. Aku mengedarkan pandang, mengharap dapat
menemukan sosok yang kucari. Tetap tak ada. Kata-katanya kembali mengiang di
telingaku. Jangan pernah meninggalkan salat, karena hanya orang-orang beranilah
yang mampu meninggalkannya.
Apakah aku
termasuk di antara para pemberani itu? Hatiku menolaknya. Ya, aku bukanlah pemberani yang mampu menentang perintah-Nya.
Maka aku pun melangkah mengikuti kata hati. Orang-orang
mulai berdatangan. Azan menyeruak keheningan….
*****
Nusa Indah9
Komentar
Posting Komentar