CERPEN PAK KENDAR
Ilustrasi |
Saya melihat Maya duduk di bangku kantin yang agak ke
pojok. Di hadapannya, Teti duduk menemani. Saya menghampiri mereka. Keduanya
saling diam. Wajah Maya yang manis, terlihat muram. Tatapannya penuh dengan
amarah. Saya mengambil tempat di sebelah Teti. Sekilas Maya menatap saya. Saya
tersenyum menyapanya. Saya tahu perasaan Maya sedang sensitif, maka dari itu
saya mesti berhati-hati dalam berkata.
“Sudahlah, May, tak usah dipikirkan lagi,” ucap saya
mencoba menghiburnya.
Pandangan Maya kembali pada saya, wajahnya menegang
seperti menahan kekesalan.
“Saya masih tidak terima!” katanya keras. “Kamu tahu, saya
ini malu. Seenaknya saja dia menyuruh saya keluar dari kelas.”
“Dia” yang dimaksud oleh Maya adalah Pak Kendar. Dia guru
matematika kami.
“Bukankah dia melakukannya atas satu alasan?”
“Tetapi bukan hanya saya saja yang menyontek. Kamu juga
lihat, semua anak di kelas kita juga pada ikut menyontek saat itu.”
“Tidak semua tepatnya,” protes saya.
Mata Maya sesaat mengalihkan pandang dari saya. “Ya, tidak
termasuk kamu tentunya.”
Saya tersenyum. Saya harus menegaskan hal itu pada Maya.
Tidak semua anak punya kebiasan menyontek. Saya lebih suka mengandalkan
kemampuan sendiri ketimbang mesti lihat catatan atau mendapat bocoran jawaban
dari teman sebelah. Itulah yang membuat saya tak pernah gentar menghadapi
setiap ulangan apapun, meski waktunya mendadak. Sampai sekarang, saya selalu
berhasil melaluinya tanpa mengulang.
Namun, tak setiap orang punya keinginan yang sama. Memang
ada saja yang ingin cepat. Potong kompas, yang penting selesai. Dapat nilai,
habis perkara. Dan malangnya, saat Maya
melihat catatan pada ulangan matematika setelah upacara tadi, Pak Kendar
melihat. Maka menjadi besarlah urusannya. Maya dipanggil untuk maju ke depan dengan
membawa kertas jawabannya. Lalu, kertas jawaban tersebut diambil oleh Pak
Kendar. Selanjutnya disobek.
Maya pun disuruh keluar. Masih dengan catatan, tak ada tes
ulang untuknya. Jelas Maya protes, tapi tidak ada tanggapan apapun dari Pak
Kendar. Putusannya sudah bulat. Karena dia sangat membenci segala sesuatu yang
berhubungan dengan menyontek. Kasihan juga Maya. Biar bagaimanapun, dia adalah
sahabat saya. Saya harus mencari cara untuk membantunya.
“Ada yang bisa saya lakukan untukmu?” tanya saya.
Maya kembali memandang saya. Teti juga ikut menoleh.
“Apa yang bisa kamu perbuat, Pop?” balik Teti. “Kamu ini kan anak baru di
sini.”
“Mungkin, saya dapat meminta keringanan hukuman buat Maya?”
“Maksudmu?” tanya Maya tak mengerti.
“Saya akan mencoba bicara dengan Pak Kendar, siapa tahu dia mau memberikan
tes ulang untukmu.”
“Mana mungkin,” sela Teti. “Bukankah kamu dengar sendiri, dia tak akan
memberi kesempatan pada Maya untuk mengikuti tes ulang.”
Saya melihat Maya tertunduk. Saya tahu begitu kecewanya dia. Sebelumnya,
tak pernah saya melihat Maya menyontek dalam ulangan matematika. Karena dia
menyukai pelajaran itu. Saya sendiri sempat kaget mendengar suara keras Pak
Kendar yang memergoki usaha Maya saat melihat buku catatan. Memang sebelum
ulangan berlangsung, Maya bilang pada saya bahwa dia tak sempat belajar
semalam. Acara resepsi pernikahan kakaknya berlangsung sejak pagi kemarin
sampai malam. Tak ada waktu untuknya buat mempersiapkan diri menghadapi
ulangan.
“Tapi, Pak Kendar kan mengatakannya saat dia tengah di puncak emosi,” kata
saya. “Jadi saya akan mencobanya setelah suasana kembali tenang.”
Maya tersenyum kecut. “Apa kamu yakin dia mau merubah keputusannya?”
“Saya yakin bisa. Dan saya akan berusaha agar dia melakukannya.”
“Kamu sungguh-sungguh?” tanya Maya.
Saya mengangguk mantap. “Bagi saya, kamu adalah sahabat saya, kamulah yang
pertama menjadi teman saya di sini. Padahal, biasanya anak baru selalu
dikerjai, tapi kamu tidak melakukannya kepada saya. Kamu begitu baik pada saya.
Tak ada salahnya kalau kini saya membantumu.”
Sorot mata Maya yang semula suram berangsur menjadi cerah. Saya melihat
ada sedikit harapan di dirinya mendengar penjelasan dari saya.
“Sejak pertama kali saya mengenalmu, saya tahu kamu anak yang baik. Kamu
pintar melebihi siapapun di kelas kita. Tak pernah saya melihatmu menyontek
saat ulangan. Kamu juga pasti tak setuju dengan cara yang sudah saya lakukan
waktu ulangan tadi. Dan sekarang kamu akan menolong saya agar dapat kesempatan
mengikuti tes ulang.”
“Setidaknya saya akan memberimu peluang untuk membuktikan kemampuan isi
tempurung kepalamu.”
“Kamu kira saya menyontek tadi dengan sengaja?”
“Mungkin kamu memang terpaksa melakukannya. Namun, apapun alasannya kamu
tetap di pihak yang salah.”
“Jadi kamu yakin, Pak Kendar akan meluluskan permintaanmu?” Teti menyela.
Saya menoleh padanya. Dia memang belum bisa percaya dengan apa yang akan
saya lakukan. Selama ini saya memang hanya mengikuti saja segala sesuatu yang
diperbuatnya dan Maya. Maka begitu mendengar perkataan saya, dia agak sedikit
terkejut.
“Kalau kamu belum bisa percaya
dengan ucapan saya, tetaplah seperti itu. Karena saya memang ingin membuatmu
lebih kaget lagi dengan hasilnya nanti.”
Teti menoleh pada Maya. “Anak baru ini punya nyali juga rupanya, saya
menjadi tak sabar melihat bukti ucapannya!”
Maya tersenyum. “Sekali lagi, terima kasih atas rasa simpatimu. Tetapi, saya minta kamu
jangan melakukan tindakan yang berlebihan demi saya. Bila tak berhasil,
biarlah. Mungkin itu sudah menjadi nasib saya. Masih ada saatnya untuk
memperbaiki.”
Sesaat kemudian, bel masuk terdengar nyaring menelusup ke setiap pelosok wilayah sekolah. Kami bangkit dari duduk. Setelah membayar makanan, kami
beranjak meninggalkan kantin menuju kelas.
Kebetulan di dua jam pelajaran sejarah, kosong. Pak Burhan absen untuk
penataran. Kesempatan tersebut saya pergunakan untuk keluar kelas. Tujuan saya
adalah kantor guru. Saya tahu, Pak Kendar pasti ada di sana. Jadwal mengajarnya
di kelas sebelah kelas saya, masih satu jam pelajaran lagi.
Langkah kaki saya telah mendekati ruang guru. Lewat kaca jendela, saya
melihat Pak Kendar duduk sendiri membaca Koran. Kesempatan bagus. Saya mengetuk
pintu dan masuk. Guru itu melihat kedatangan saya, korannya diturunkan. Dia
menatap saya.
“Ada apa?” tanyanya.
Saya kira dia sudah mengetahui pokok persoalan yang ingin saya sampaikan.
Maka saya tak mengulangi lagi. Saya malah mengatakan alasan kenapa sampai Maya
melakukannya. Dan saya memintanya agar membolehkan Maya mengikuti tes ulang.
“Haruskah saya melakukan itu?” tanyanya.
“Saya rasa memang mesti begitu.”
“Apa sebab?”
“Karena guru tak boleh mengajarkan dendam pada muridnya.”
“Dendam?”
Saya mengangguk mantap. “Kalau Maya tak mendapat tes ulang, maka pasti dia
akan dendam pada Bapak.”
“Itu hak dia, saya tak merasa dirugikan.”
“Secara langsung memang iya, tapi bukankah kita semua murid-murid Bapak?
Saya yakin, harapan Bapak sebagai guru tentunya ingin menjadikan kami memiliki
akhlak yang mulia. Apa dendam itu juga bisa disebut mulia?”
Pak Kendar diam. Kemudian senyumannya mengembang.
“Kenapa kamu begitu antusias membelanya?”
“Saya tidak membelanya. Bagaimanapun, menyontek itu tidak baik. Tidak
melatih otak jadi kreatif. Makanya saya ingin Bapak memberi kesempatan pada
Maya untuk tes ulang. Setidaknya agar dia dapat menggunakan kemampuannya
sendiri tanpa menyontek.”
“Apakah semua yang kamu lakukan ini adalah perintahnya?”
“Saya tak pernah diperintah oleh
siapapun. Apa yang saya perbuat semata adalah hanya kepedulian saya kepada
sahabat saya.”
“Bila saya tak mengabulkannya?”
“Bapak tentu lebih banyak mengerti dari saya, itulah sebabnya Bapak
disebut guru dan saya sebagai murid. Tentunya Bapak juga mengerti apa yang
terbaik dan tidak buat kami.”
Pak Kendar tertawa. “Ya sudah. Bilang sama sahabatmu itu, kalau dia mau
tes ulang saya tunggu besok di sini. Sepulang sekolah.”
Saya senang sekali mendengar perkataannya. Seribu ucapan terima kasih saya
ucapkan kepadanya. Kemudian saya minta diri, meninggalkan ruangan itu kembali
ke kelas. Tak sabar saya mengatakan berita tersebut pada Maya. Tentu dia juga
akan gembira mendengarnya. Saya makin mempercepat langkah agar dapat segera
tiba di kelas.
Begitu saya sampai di kelas, tak terlihat adanya Maya. Teti yang duduk di
sebelahnya pun tak ada. Saya bertanya pada Sisi yang duduk di belakang bangku
mereka.
“Belum lama mereka keluar,” sahut Sisi.
Saya segera saja beranjak. Perasaan saya tak enak. Maka saya memasang mata
untuk mencari keduanya. Di kantin tak ada. Juga di perpus, keduanya tidak
tampak. Saya mesti menemukan mereka. Tapi saya juga harus berhati-hati,
sekarang masih dalam jam pelajaran. Saya tak boleh bertemu dengan guru piket.
Bisa bertambah runyam urusan nantinya.
Di dekat musala, saya melihat Pak Medi, seorang staf tata usaha. Saya
bertanya padanya, siapa tahu dia melihat Maya dan Teti. Syukurlah, dia memang
melihatnya. Dan dia menunjuk ke arah tempat parkir. Perasaan saya semakin tak
enak.
Saya mempercepat langkah. Benarlah, saya menemukan Maya dan Teti di sana,
tepatnya di parkiran sepeda motor. Mereka tak melihat kedatangan saya, jadi
saya bebas memperhatikan apa yang akan diperbuat keduanya. Saya hanya berharap
mereka tidak melakukan kebodohan seperti dugaan saya.
Dekat sebuah sepeda motor, mereka berhenti. Maya dan Teti berjongkok di
sampingnya. Saya berlari ke arah mereka. Sepeda motor yang mereka dekati adalah
milik Pak Kendar! Dugaan saya ternyata benar.
“Jangan lakukan itu!” seru saya.
Maya dan Teti tampak kaget. Saya berjalan mendekati keduanya.
“Saya mohon, jangan lakukan tindakan bodoh itu, May.”
Maya seperti tak peduli, tangannya kembali bergerak ke arah ban roda motor
itu. Dia akan mengempesi ban motor Pak Kendar! Saya harus mencegahnya.
“Begitukah balasan kamu setelah dia membolehkan ikut tes ulang
matematika?”
Tangan Maya berhenti bergerak. Dia menoleh pada saya. Lalu berdiri. “Apa
yang kamu katakan?”
“Bukankah saya tak pernah bohong kepadamu?”
Teti ikut pula berdiri di samping Maya. “Eh, Poppy, kalau bicara yang
jelas.”
Saya mendekati mereka. “Tadi sudah saya katakan, kalau saya akan berusaha
agar kamu bisa ikut tes ulang. Dan Pak Kendar setuju.”
“Kamu bilang apa padanya?” tanya Teti.
“Banyak yang saya katakan, saya rasa yang terpenting adalah usaha saya
telah berhasil.”
Tiba-tiba Maya merangkul saya. “Terima kasih, Pop. Kamu telah banyak
membantu saya.”
Saya senang sekali, hari itu saya telah berhasil menolong sahabat saya dan
menghindarinya dari perbuatan bodoh. Dan saya berharap dia takkan pernah
melakukannya lagi. Saya lihat Teti juga tersenyum melihat kami.
“Tidak saya sangka seorang anak baru bisa merubah hidup kita,” katanya
sebelum ikut memeluk saya.
“Saya hanya membuktikan apa yang sudah saya ucapkan,” bisik saya.
*****
Nusa Indah9, Akhir Februari 2005
(Dimuat Kawanku eds. No. 3/XXXV, 11-17 Juli 2005)
Komentar
Posting Komentar