Harga Sebuah Perkawinan
Ilustrasi |
Dari awal, sudah kukatakan kalau aku tak mau hamil terlebih dulu. Aku
ingin posisi dalam pekerjaanku aman. Aku ingin kalau keinginan punya anak itu
datang tak lagi repot memikirkan biayanya. Namun, Mas Arman punya niat berbeda.
Dia ingin segera bisa memomong anak.
Memomong anak? Jelas itu bukanlah hal yang ingin segera kulakukan setelah
kami menyatukan diri dalam perkawinan enam bulan lalu.
“Ayolah, Liz, apa salahnya kalau kita punya anak?” tukas Arman saat dia
mengajukan usul agar aku melepas alat kontrasepsi yang kupakai.
“Tapi bukan sekarang, Mas!”
“Sekarang ataupun nanti tak ada bedanya.”
“Jelas berbeda, Mas,” selaku, “kalau sekarang aku belum siap.”
Mas Arman tersenyum memandangiku dan mengelus rambutku.
“Liz, punya anak itu tidak perlu pakai persiapan apa-apa,” katanya. “Kita
tinggal menikmatinya saja.”
“Tak semudah itu, Mas!”
“Kamu tak percaya?” tanya Mas Arman. “Ayo ikut aku!”
Mas Arman menarik tanganku keluar rumah dan berdiri di teras rumah yang
menghadap ke petak rumah kontrakan.
“Coba lihat itu,” kata Mas Arman seraya menunjuk ke arah seorang wanita
muda yang sedang menyuapi bayinya yang berada dalam gendongan kainnya.
“Aku pikir dia tak pernah berpikir sebanyak yang kau lakukan untuk
menikmati kebahagiaan itu.”
Aku menatap cemberut pada Mas Arman dan segera membalikkan tubuh untuk
masuk ke kamar. Mas Arman tak lagi melakukan apapun setelah itu. Tetapi, kurasa
dia sudah merasa di atas angin.
Kukatakan begitu, karena setelah hari itu kelakuan Mas Arman makin
menjadi. Dia terus saja merasuki pikiranku dengan segala pernyataan yang
diyakininya. Semua ucapannya seperti mencecarku. Membungkam apapun alasan yang
kuutarakan. Dia tetap ingin aku hamil!
“Ayolah, Liz, tak ada salahnya kan kalau kita mencoba?” tukas Mas Arman
saat kami duduk berdua di teras belakang rumah.
Aku menatap Mas Arman. Wajahnya terlihat penuh pengharapan.
“Bikin anak kok coba-coba!” ucapku mangkel.
Mas Arman malah tersenyum senang. “Jadi kamu setuju?”
“Siapa bilang?” balasku.
Mas Arman mendekatkan wajahnya. “Anggaplah ini sebagai hadiah ultah
perkawinan kita.”
“Kamu aneh,” kataku.
“Tidak ada yang aneh, punya anak itu biasa dalam keluarga.”
Aku bangkit dari duduk. “Sudahlah, aku tak mau dengar soal itu lagi!”
cetusku seraya pergi.
Mulai saat itulah pikiranku teracuni. Keinginan Mas Arman untuk punya anak
selalu terngiang-ngiang di telingaku. Pun dalam pekerjaanku, tak mau hilang.
Seperti sudah bersenyawa di tempurung otakku.
Aku jadi tak bisa konsentrasi atas
pekerjaanku. Beberapa kali atasanku menegur. Aku jadi tak enak juga, sebab tak
lama lagi bakal ada promosi jabatan. Aku ingin membuat kesan yang baik untuk
menambah nilai plus pada diriku. Aku adalah satu di antara dua orang yang akan
bersaing untuk posisi puncak di divisiku. Dua orang lainnya adalah Ambar dan
Dian.
Itu bukanlah hal mudah. Semua
perlu kreativitas dan mobilitas yang tinggi. Hal yang tak dapat kulakukan bila
dalam keadaan hamil. Tapi, tentunya Mas Arman tak mau mengerti. Keinginannya
sudah bulat. Dia ingin punya anak, titik.
Apakah aku harus menyerah pada keadaan? Kulihat Ambar tersenyum menatapku
di satu pagi. Kukira itulah senyum kemenangan baginya. Dia menghampiriku
menjelang makan siang.
“Aku mau mentraktirmu makan,” katanya.
Aku agak heran. Tak biasanya dia melakukan itu. Apa dia sudah mengetahui
dilema yang kuhadapi? Yang jelas akan memuluskan langkahnya mencapai posisi
puncak dalam karirnya?
“Untuk acara apa?” tanyaku garing.
“Untuk satu anugerah akan segera akan kuterima,” katanya mantap.
Aku tertegun. Ambar begitu yakin akan mendapatkan itu. Berarti dia memang
telah tahu keadaanku.
“Aku sedang tak nafsu makan,” ucapnya menolak.
“Alaah, sudahlah, jangan melulu kerja. Ikutlah aku, akan kuceritakan apa
yang akan kuraih nanti,” desak Ambar.
Aku terhasut oleh keinginan untuk mengetahui gerangan apa yang membuat
Ambar menjadi royal berbagi rezeki.
“Baiklah,” kataku.
Maka, begitu jam makan siang, aku ikut di dalam mobil Ambar yang menuju ke
satu mal terdekat. Kami masuk ke satu resto dan duduk berhadapan.
“Kamu tahu, betapa hatiku senang saat ini,” kata Ambar dengan senyum
terkembang.
“Pasti sesuatu yang akan kau dapat begitu lama telah kau tunggu,” ucapku.
“Kau benar. Tak ada yang lebih membahagiakanku selain itu.”
Kuakui, Ambar memang lebih aktif di kantor dari pada aku. Dia juga supel.
Jadi dialah saingan terberatku untuk promasi jabatan itu. Dan kini, dia sudah
semakin yakin akan langkahnya yang berjalan mulus.
“Selamat, kau memang lebih pantas mendapatkan itu dari pada aku,” kataku
kemudian.
Ambar tampak kaget. Dia menatapku lekat. “Apa maksudmu?”
Aku jadi jengah mendengarnya. “Bukankah kini kau telah yakin menang atas
diriku?”
Ambar tersenyum. “Aku mengerti maksudmu. Namun, bukan itu yang kubicarakan
kini.”
Aku termangu. “Jadi, ini soal apa?”
Ambar menatapku lekat. “Aku hamil.”
Aku tercekat. Ambar tersenyum lebar.
“Ka-kau hamil?” tukasku terbata.
Ambar mengangguk.
“Jadi kau mengajakku makan adalah lantaran kau hamil?” ulangku.
Sekali lagi, Ambar mengangguk. “Itulah satu kebahagiaan buatku, melebihi
segalanya. Kini aku merasa senang, karena Dia sudah mempercayaiku untuk merawat
anak.”
“Tapi bagaimana dengan karirmu? Bukankah peluangmu cukup besar untuk
posisi puncak?”
Ambar tersenyum. “Apa yang kudapat kini lebih utama dari segala macam
urusan kantor, Liz.”
Aku terpaku.
“Kamu tahu? Aku siang malam berdoa, memohon kepada-Nya agar bisa
secepatnya memomong anak. Dan itu sudah tiga tahun kulakukan. Apalagi yang bisa
membuatku senang selain ketika itu terkabul?” tandas Ambar.
“Kamu tahu?” katanya lagi, “Semula aku takut kalau Dia tak mengabulkan
doaku. Atau bahkan harus lebih lama lagi menunggu. Aku takut akan hal itu,
Liz.”
Ada getir di kerongkonganku.
“Apa kau pakai kontrasepsi?”
Ambar menggeleng. “Kata ibuku memakai kontrasepsi di awal pernikahan
adalah simbol ketakutan mempelai menghadapi hidup.”
“Tapi tanpa kontrasepsi, kau pun mesti lama menunggu?” ucapku.
“Apalagi tidak, mungkin akan lebih lama lagi aku menunggu atau malah
takkan dapat sama sekali,” tandas Ambar.
Aku terpaku.
Ambar lalu tertawa. Seorang pelayan datang dengan makanan pesanan kami.
“Sudahlah, sekarang kita makan untuk menebus kebahagiaanku.”
Aku mengangguk lagi. “Untuk kebahagiaanmu.”
***
Pertemuan dengan Ambar makin membuatku bimbang. Di satu sisi, peluangku
untuk maju ke puncak karir lebih terbuka dengan berkurangnya saingan. Namun,
melihat kegembiraan Ambar mengingatkanku dengan Mas Arman. Satu ucapan Ambar
jadi terngiang di telingaku, Apalagi yang membuatku senang selain ketika itu
terkabul?
Aku bingung. Takut. Ambar menemukan kebahagiaan itu setelah menunggu
selama tiga tahun. Bagaimana denganku? Apakah aku siap menunggu selama itu atau
bahkan lebih lama lagi. Inikah yang kucari? Apa yang sudah kulakukan?
Kuhabiskan hidupku hanya untuk mengejar ambisi pribadi.
“Memiliki anak juga satu prestasi, Liz,” ucap Ambar di lain waktu.
Aku tertegun. Aku mengingat lagi mata Mas Arman yang berbinar manakala ada
keponakanku yang datang ke rumah. Aku sadar akan hal itu. Mungkin kini sudah
saatnya. Aku pun menemui Mas Arman di rumah sepulang kerja yang agak telat. Aku
menatapnya lekat.
“Ada apa?” tanya Mas Arman heran melihat tingkahku.
Aku menggigit bibir seraya tersenyum. “Aku sudah melepas spiral.”
Mata Mas Arman terbelalak. Bibirnya pun
mengembangkan senyum. Dia bangkit dan memelukku. Aku begitu nyaman
di dekatnya. Malam jadi berpeluh.
*****
Komentar
Posting Komentar