Bila Sama Tak Beda
Ilustrasi |
Yudith
melongo menatap cowok yang berdiri di depan kelas yang sedang mengenalkan diri
sebagai Yusak. Dia melihat anak-anak di sekelilingnya juga tak kalah heran.
Mereka semua berbisik-bisik yang menurut pikirannya juga penuh rasa heran.
Tetapi, Yusak yang berdiri di depan malah senyam-senyum saja.
Aneh. Kok, ya
bisa sama? Batin Yudith. Cuma warna kulitnya saja yang beda. Ivan lebih hitam
ketimbang dia. Apa memang dia diciptakan ada dua. Yudith terus mengucek-ucek
matanya. Atau mereka saudara kembar, ya? Sampai Yusak duduk di bangkunya yang
tepat di belakang bangku Yudith, pertanyaan
itu belum juga hilang dari benak cewek mungil yang berkulit putih itu.
Ade, yang duduk di samping Yudith, yang baru
balik dari kantor kepsek juga takjub begitu menatap cowok baru yang duduk di
belakang mereka.
“Nggak salah
liat gue?” bisik Ade.
Yudith
tersenyum. “Gua aja heran kuadrat!”
“Apa mungkin
saudara kembarannya?”
“Itu juga
yang tadi gua pikirin,” sahut Yudith.
“Gimana kalau
kita tanya?” usul Ade.
“Nah, Ibu
rasa cukup sudah waktunya perkenalan,” ujar Bu Betty yang langsung bangkit dari
duduknya dan memotong niat Ade. “Sekarang kita balik pada pelajaran, buka
halaman….”
***
“Itu
anaknya,” ujar Yudith sembari menunjuk cowok yang baru keluar dari toilet.
“Kita tanyain
aja langsung,” tukas Ade. Yudith dan Ade pun mempercepat langkahnya menghampiri
si cowok.
“Hai, Yusak!”
sapa Yudith begitu mereka sudah dekat.
Yusak
menghentikan langkahnya dan menoleh. Melihat Yudith dan Ade dia segera
mengembangkan senyum manisnya.
“Ya? Ada
apa?” tanyanya.
“Boleh aku
tanya sesuatu?” tukas Yudith.
“Oh, silakan.
Bila mampu pasti akan aku berikan jawabannya,” jawab Yusak sambil tak lepas
dari senyumannya.
Senyumannya itu, persis dia! batin Yudith
gemetar.
“Ehm. Ka-kamu….”
“Jangan grogi
gitu dong, nyantai aja,” ledek Yusak.
Mati gua! Nggak kuat! teriak hati Yudith.
Yudith
menarik napasnya dalam-dalam. Ade menyenggolnya supaya cepat mengucapkan kata.
Yudith menatap sewot pada Ade. Nggak tahu orang lagi gugup apa nih anak?
Makinya masih di dalam hati. Yudith menoleh lagi pada Yusak.
“Begini, aku
cuma mau tanya, kamu punya hubungan saudara dengan Ivan?” tukas Yudith.
Yusak
mengatup senyumannya. Dia ternangu menatap Yudith lalu ke Ade.
“Ivan?”
tanyanya heran.
Yudith mengangguk.
Ade juga ikut-ikutan manggut.
“Iya, Ivan
Syarif,” seru Ade.
“Aku nggak
kenal. Siapa dia?”
Yudith
menatap Ade. Sama-sama melongo. Lalu, berbarengan mereka menoleh pada Yusak.
“Kamu nggak
kenal?” tanya Yudith penasaran.
Yusak
mengangguk mantap. Yudith dan Ade saling berpandangan lagi dan mengangkat bahu.
“Ya, sudah
kalau begitu. Sori sudah bikin kamu bingung. Terima kasih,” ucap Yudith sambil
beranjak meninggalkan Yusak.
Ade yang
melihat Yudith sudah melangkah meninggalkannya, buru-buru ikut menyusul. Tak
lupa dia meninggalkan senyum manis buat Yusak yang dibalas oleh cowok itu.
“Kamu kok
ninggalin aku sih?” ucap Ade yang sudah berhasil menyusul Yudith.
“Ternyata dia
bukan saudaranya,” kata Yudith tak menyambung pada perkataan Ade. “Tapi, kok
kayak pinang dibelah dua, ya?”
“Mungkin
hasil kloningan kali?”
Yudith
menoleh pada Ade sambil merengut. Ade berusaha mengusir salah omongnya dengan
senyum.
“Ya, sudah.
Kita lupakan saja,” ucap Yudith pada akhirnya.
***
Kriiing!
Kriiing!!!
“Non, Yudith.
Ada telpon….” teriak Bi Nah.
Tak lama,
kepala Yudith muncul dari balik pintu kamarnya.
“Dari siapa?”
Bi Nah
ngomong lagi di telapon. Lalu, “Dia bilang namanya Yusak.”
Yudith
mengerutkan kening. Dengan perasaan bingung dia keluar dari kamar, berjalan
menuju meja telepon. Bi Nah meninggalkannya. Yudith meraih gagang telepon.
“Halo…?”
“Halo,
Yudith. Sori sudah mengganggumu,” tukas Yusak sopan.
“Ada apa?”
“Aku masih
penasaran dengan perkataanmu tadi di sekolah.”
“Memang aku
ngomong apa?”
“Kamu kan
tanya, apakah aku ini saudaranya Ivan atau bukan.”
“Oh, itu.
Panjang ceritanya.”
“Tapi, aku
sedang tidak ada kerjaan kok.”
“Nanti saja
kalau ketemu, nggak enak bicara ditelepon.”
“Kenapa musti
nanti kalau bisa sekarang.”
“Tapi, kita
mau ketemu dimana? Kamu ada dimana sekarang?”
“Ehm… di
depan rumahmu,” kata Yusak pelan sekali.
“Hah?” seru
Yudith tak percaya. Buru-buru dia meletakkan gagang telepon di meja dan berlari
menuju jendela depan. Dia menyibak kain gorden dan memandang ke arah pintu
pagar. Terlihat, Yusak melanbai-lambaikan tangannya sambil memasukkan Hpnya ke
saku celana.
“Memang
benar-benar nggak punya kerjaan nih anak,” gumam Yudith.
Yudith
menghampiri kembali meja telepon dan mengembalikan gagang telepon pada
tempatnya. Lalu, dia melangkah menuju pintu depan. Membukanya dan berjalan
keluar terus menuju teras yang dibatasi dengan pagar besi sedada. Yusak
menyambutnya sambil cengengesan.
“Malam….” katanya.
“Darimana
kamu tahu rumahku?”
“Boleh aku
menjelaskan di dalam? Nggak enak ngobrol dari luar pagar begini,” tukas Yusak.
Yudith
tersenyum. Tangannya bergerak membuku selot pagar dan membuka pintunya.
“Masuk deh,”
kata Yudith sambil berjalan menuju teras.
Yusak
melangkah mengikuti Yudith. Ketika Yudith duduk di bangku teras, Yusak duduk di
sampingnya. Yudith memandang Yusak seperti minta penjelasan.
“Sori, jangan
marah, ya? Aku tahu rumahmu karena aku mengikutimu,” kata Yusak.
Yudith
melotot. “Kamu mengikutiku?”
“Aku sudah
minta maaf loh?” kata Yusak.
“Apa
maksudmu?” tanya Yudith.
“Aku hanya
ingin tahu kenapa kamu mengatakan seolah aku ini saudaranya Ivan. Siapa Ivan?”
tukas Yusak.
Yudith
terdiam sesaat. “Besok saja
kujelaskan,” ucap Yudith.
“Kenapa harus
besok?”
“Karena
sekarang sudah malam. Besok saja, kamu bakal mengetahui semuanya.”
Yusak
mengangkat bahu. “Terserah kamu.”
***
Sepulang
sekolah keesokan harinya, Yudith mengajak Yusak ke satu tempat. Rumah Ivan.
Sampai di depan rumah Ivan, mereka menghentikan langkah.
“Itu rumah
Ivan,” kata Yudith. “Dia dulu sama sepertimu, sekelas denganku. Kami sangat
akrab.”
“Sekarang dimana
dia?” tanya Yusak.
“Dia… Dia
sudah kembali pada-Nya.”
Yusak menoleh
pada Yudith. “Kenapa?”
“Kecelakaan.”
Yusak diam
sambil menoleh kembali pada rumah itu. “Apa wajahnya memang mirip denganku?”
Yudith
menggigit bibirnya. Lalu, “Kita masuk saja biar kamu mengerti,” ajak Yudith.
Mereka
mendekati rumah itu. Yudith mengetuk pintunya. Seorang wanita setengah baya
membukakannya. Wanita itu memandang mereka dan terlihat begitu terkejut saat
melihat Yusak. Yudith sudah mengiranya.
“Dia bukan
Ivan, Bu. Hanya mirip,” tukas Yudith.
“Oh, Ibu
kira….”
Yudith dan
Yusak sama-sama tersenyum. Kemudian, wanita itu mempersilakan mereka masuk.
Dari ruang dalam keluar lelaki yang juga
setengah baya. Seperti wanita tadi, si lelaki pun terkejut begitu melihat
Yusak.
“Dia bukan,
Ivan, Pak,” kata si wanita.
“Dia Yusak,”
ucap Yudith, lau dia menoleh pada Yusak. “Ini orang tua Ivan, Bapak dan Ibu
Syarif.”
Dua orang
suami-istri itu hanya mengangguk. Yudith menghampiri dinding dan meraih sebuah
bingkai berfoto yang digantung di sana. Foto Ivan.
“Ini, foto
Ivan,” kata Yudith sembari memberikan foto itu pada Yusak.
Yusak melongo
memandangi foto yang begitu mirip dengan wajahnya.
“Kamu tinggal
dimana, Nak?” tanya Bu Syarif.
Yusak menoleh
dan mengatakan alamat tempat tinggalnya. “Ayah saya bernama Wijaya.”
Pak Syarif
sedikit terkejut mendengar itu. Tapi, dia menutupinya.
“Melihat
kamu, Ibu jadi seperti melihat anak sendiri. Ibu gembira, “ ucap Bu Syarif
menutupi keterkejutan suaminya.
“Saya juga
senang bisa mengenal Bapak dan Ibu,” kata Yusak. “Semoga saya bisa menghapus
rasa kehilangan Bapak dan Ibu.”
Yudith
tersenyum. Yusak menoleh padanya. Yudith mengangguk.
“Baiklah,
Bapak, Ibu, kami mohon pamit dulu,” ucap Yudith.
“Lho, kok
begitu cepat, baru juga sampai,” ucap Pak Syarif.
“Kami masih
harus mengikuti bimbel, lain waktu kami pasti datang lagi,” jawab Yudith. “Yang
terpenting, saya sudah membuktikan pada Yusak kalau dia mirip Ivan.”
Yusak
mengangguk dan tersenyum. Suami-Istri itu pun membalas senyum. Selanjutnya,
Yudith dan Yusak melangkah meninggalkan rumah itu. Dari balik jendela, Pak dan
Bu Syarif memandangi kepergian mereka. Pak Syarif merangkul Istrinya.
“Aku senang
keluarga Wijaya telah merawatnya dengan baik,” ucap Pak Syarif.
“Ya, biarlah
dia di sana. Biarlah dia tak mengetahuinya kalau Ivan adalah saudara
kembarnya,” bisik Bu Syarif sambil menghapus air matanya yang jatuh.
*****
Bintaro, 031005 (Dimuat KaWanku No. 21. Edisi 14-20 November 2005)
Komentar
Posting Komentar