Saya Menulis Sebab Iri
Menulis itu menghibur. (Dok. Pribadi) |
Saya kadang merasa tidak nyaman kalau
ada teman atau orang yang saya kenal menulis atau membahas tentang
keberhasilannya memenangi satu lomba menulis atau lomba blog atau sudah
berhasil menerbitkan buku-buku barunya.
Itu mah lo cemburu namanya, Sob! Tiba-tiba saja nurani saya mencuatkan kata-kata yang merusak suasana.
Mungkin memang benar saya cemburu
atau iri saya lebih enak menyebutnya.
Tetapi, bukan dengan logika negatif.
Artinya, saya iri melihat
keberhasilan teman-teman dan orang yang saya kenal itu bukan untuk menjelekkan
mereka, bukan untuk membenci.
Bukan begitu.
Saya lebih memilih rasa iri saya itu
menjadi energi baru untuk menggerakkan diri saya membuat sesuatu, menulis
tepatnya, yang lebih baik dari yang pernah saya buat.
Menulis menafkahi
Sebenarnya perasaan ini sudah lama
ada di hati saya, terutama di awal-awal saya memutuskan untuk menulis.
Kala itu, tiap hari Minggu kita
berkumpul di forum lingkar pena (FLP) Jakarta yang biasanya diadakan di teras
masjid Amir Hamzah, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Pada kesempatan itu selalu saja ada
yang pamer kalau tulisannya dimuat di majalah itu atau koran itu.
Itu bukan sekadar kabar baik, tapi
juga menjadai ajang kompetisi untuk bagi yang hadir untuk berbuat hal serupa.
Memang sepulang dari pertemuan itu
biasanya, saya selalu menulis dengan tujuan bisa diterima dan dimuat di majalah
ini atau koran itu.
Ada juga beberapa yang dari tulisan
saya yang berkesempatan lolos meja redaktur dan menjadi bagian dari isi sebuah
majalah.
Senang? Tentu.
Namun, itu tidak berhenti sampai di
situ, selalu saja ada pernyataan teman-teman atau orang yang saya kenal lainnya
tentang keberhasilan lain mereka yang membuat saya tidak berlama-lama puas
dengan apa yang sudah saya dapat.
Saya harus kembali membekali diri,
menulis untuk satu alasan, menyamai prestasi teman atau orang yang saya kenal
itu.
Bukan saja melalui
pelatihan-pelatihan singkat satu-dua hari, tetapi untuk mempelajari penulisan
skenario, saya meluangkan waktu untuk kursus sinematografi dasar dan penulisan
skenario Film cerita selama setahun di pusat perfilman.
Sudah begitu saya mencari cara untuk
bisa masuk menjadi bagian kelompok menulis komedi situasi yang mengikat saya
belajar sambil kerja selama empat tahun di dunia komedi situasi.
Semua itu belum ditambah membaca
buku-buku teks pengayaan cara menulis dari penulis lokal dan luar negeri.
Untuk apa semua itu, buat saya
sekadar mengetahui ilmu bidang kreatif yang kini saya geluti.
Pekerjaan yang sudah saya gunakan
untuk menafkahi istri dan ketiga anak saya.
Mengisi ulang energi. (Dok. Pribadi) |
Iri bukan benci
Memangnya lo nggak bisa hidup
biasa-biasa aja, Sob? Sambung nurani saya lagi setelah saya
panjang lebar mengatakan alasan saya iri.
Saya melihat teman saya yang
mengatakan itu.
Kalau saya hidup biasa-biasa saja,
artinya saya tidak perlu iri dengan prestasi teman atau orang yang saya kenal
lagi.
Artinya saya menulis saja apa yang
biasa saya lakukan, tapi saya tidak akan punya prestasi apa-apa.
Buat apa prestasi, Sob? Tanya nurasi saya lagi seperti meledek.
Pertanyaan yang namanya ringan itu
menjadi seperti petir yang menyambar saya.
Itu kah yang saya kejar selama ini?
Prestasi?
Saya mulai berpikir ulang ke awal
niat saya menulis sampai meninggalkan pekerjaan di satu perusahaan besar
farmasi (PBF).
Sebenarnya bukan hanya satu
perusahaan saja, terakhir saya meninggalkan kantor yang bergerak di bidang
start-up pada 2015, sebagai kepala divisi kreatif BESTFREN selama dua tahun, demi
untuk menulis skenario lagi.
Comic-motion Bestfren
Dan itu bukan tanpa konsekuensi, saya
harus minta persetujuan istri saya yang merupakan orang yang punya hak saya
nafkahkan.
Untung istri saya selalu bisa
mengerti keinginan saya, walau saya tahu dia selalu ketar-ketir ketika saya
tidak menulis apa pun untuk siapa pun.
Namun, saya selalu bisa meyakinkan,
kalau selalu ada jalan dari menulis yang
bisa cukup untuk menunaikan kewajiban saya kepadanya.
Terus mau lo gimana, masih iri sama
orang lain, Sob? Nurani saya itu masih terus bertanya.
Saya diam, berpikir, masih kah saya
harus iri dengan prestasi teman-teman dan orang yang saya kenal itu?
Saya yakin masih. Saya butuh itu,
butuh iri dengan prestasi teman-teman atau orang yang saya kenal, agar bisa
terus memperbaiki tulisan yang sudah saya buat, agar lebih juga mendapat
prestasi.
Lo ngaca kek, Sob! Karya lo udah
banyak dapet nominasi, udah punya nilai tawar di media, udah juga ditonton
banyak orang, masih kurang?
Ucapan nurani saya itu menyadarkan
pencapaian yang sudah saya lakukan, tapi apakah harus berhenti sampai di situ?
Hasil karya. (Dok. Pribadi) |
Tidak, menulis itu adalah proses,
proses menyusun kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, dan paragraf
menjadi sebuah karangan penuh.
Proses yang akan terus berjalan tanpa
henti.
Saya ingin setiap produk tulisan saya
bisa bernilai jual, bukan untuk saya, tapi untuk pihak yang menggunakan jasa
saya dalam menulis.
Bernilai jual bukan harus meninggalkan
idealis, tapi harus merupakan hasil kompromi dari berbagai kepentingan.
Saya tidak fokus mengejar materi dari
setiap tulisan yang saya buat, tapi prestasi yang bisa saya capai dari hasil
tulisan, setidaknya memuaskan pemberi kerja.
Itulah yang tahapan menulis yang saya
lalui kini, dan setiap karya harus lebih baik dari sebelumnya.
Lo kebanyakan ngomong, Sob, sudah
nggak perlu iri lagi, nikmatin aja yang lo dapat! Nurani saya kembali mengingatkan, menyebalkan memang.
Menikmati hasil kerja. (Dok. Pribadi) |
Mungkin saya memang harus melupakan
iri yang selalu ada di hati kalau melihat prestasi teman atau orang yang saya kenal yang
selalu menghiasi dinding media sosial.
Tapi itu nanti Kalau saya sudah tidak
lagi menulis, tidak lagi berkarya.
Sekarang saya masih perlu membenahi
diri saya agar lebih baik lagi dalam menulis, berkarya, saya masih perlu iri,
bukan benci. [sr]
saya juga iri padamu
BalasHapus@Mildaini Milda Mildaini
HapusMilda pasti bisa lebih hebat....
Wah, sy iri dg semangat bljr mas sokat dan keberaniannya meninggalkan zona nyaman :'(
BalasHapus@Nur Afilin
HapusSebab ada keyakinan, usaha, dan doa, Mas....
Makasih yo sudah mampir... :)
Keren mas Solat, semoga makin semangat berkarya ya Mas..
BalasHapus@Dewi Rieka
HapusBakal semangat terus, apalagi liat karya Dedew... :)
Saya juga iri nih jadinya. Udah sering ikut lomba Nulis tapi gak menang2, hiks :'(
BalasHapus@Nia Hanie
HapusJangan putus asa.. pasti bisa, asal niat plus doa... :)
saya menulis karena ingin. hehehe..
BalasHapus@Lina Astuti
HapusApa yang diinginin pasti kecapai dah! :)
Mas, top buka casting ga ya? Boleh dong kalo ada jadi sodaranya bang dedi jg boleh. Kalo dari postur tubuh gajauh beda sama bang dedi. Makasih
BalasHapus@ardi agustian
HapusKarena TOP produk MNC, jadi untuk kebutuhan talent biasanya dipenuhi oleh Star Media Nusantara (SMN), agensi milik MNC yang kantornya di gedung MNC Kebon Sirih, cobalah main2 ke SMN, siapa tau ada open casting buat program2 MNC.... thanks.